Rabu, 13 Oktober 2010

susahnya belum menikah di usia 25

Seorang teman A menikah saat kami lulus SMA. Maka semua orang menggosipkannya menikah karena kecelakaan. Aku pun terselamatkan karena stigma orang menikah muda itu menyedihkan.

Seorang teman B menikah saat kami sedang kuliah. Maka semua orang kaget karena itu adalah pilihan untuk melambatkan masa studi yang artinya dia bakal ketinggalan untuk menyelesaikan kuliah tepat pada waktunya. Meski jatah 14 semester itu masih ada, namun 8-10 semester lah yang dianggap normal. Aku pun terselamatkan karena pilihanku yang tidak menikah dulu hingga aku menyelesaikan kuliah normal pada waktunya.

Seorang teman C menikah di saat dia lulus kuliah. Orang masih juga membicarakannya karena usianya yang relatif masih muda dengan keberaniannya mengambil risiko untuk menikah sebelum usia 25 tahun. Meski usia tak menunjukkan kedewasaan. Maka orang pun hanya kagum atas keberaniannya. Aku pun terselamatkan karena aku yang masih bersifat kekanak-kanakan hingga tak mampu sepertinya yang mau menikah dengan sederhana tanpa pesta yang mewah.

Seorang teman D menikah setelah dia lulus kuliah dan mempunyai pekerjaan. Usianya padahal lebih muda dariku. Kini bahkan dia sudah memiliki seorang bayi yang amat menggemaskan. Namun karena kesibukannya sebagai wanita karier, bayinya lebih sering bersama sang nenek. Aku pun terselamatkan karena mungkin tak bijak jika kita lebih memilih karier dibandingkan dengan mengurus anak kita sendiri.

Seorang teman E kini sedang menyiapkan pernikahannya. Tahun depan, usianya sama denganku, 26 tahun. Dan aku pun berpikir, apa yang mampu menyelamatkan aku tidak sama dengannya yakni menikah di tahun depan. Aku pun menjawab, belum ada pria yang melamarku. Maka orang pun bertanya, mengapa aku tak cari pria itu. Aku pun menjawab, aku takkan mencari. Lalu semua orang mencarikan dan bertanya maukah aku dengan pria-pria itu. Aku pun menjawab, mereka hanya ingin jadi pacarku, bukan suamiku. Hingga akhirnya mereka menyuruhku untuk segera menikah pada usiaku 25 tahun. Maka aku menjawab,

I will!!!

Selasa, 12 Oktober 2010

Abah

Aku panggil demikian seorang lelaki yang kini berusia lebih dari 50 tahun. Usianya sudah lebih dari setengah abad, dan setengahnya telah dihabiskan bersamaku, anak perempuannya yang pertama. Aku lahir ke dunia dengan didampinginya. Suaranyalah yang mengumandangkan adzan untuk pertama kalinya kepadaku. Aku mungkin tahu dia sejak aku lahir, atau aku salah? Dia yang tahu aku sejak aku lahir ke dunia ini.
Banyak yang berkata, wajahku mirip dengan dia. Awalnya aku enggan dikatakan demikian. Wajar bukan bahwasanya aku tak mau dikatakan seperti seorang laki-laki?

Ayo kita membahas tentangnya. Beliau bernama Toto Utomo. Aku pun heran mengapa di akte kelahirannya beliau bernama Mas Toto Utomo, tapi bagaimana proses namanya berubah di surat-surat berharga lainnya seperti ijasah-ijasah setelahnya yang kemudian hanya tertulis Toto Utomo.
Nama yang mungkin membuatku tak heran pula mengapa namaku bisa sama dengan adikku, Dhyah Annur. Ternyata abahku itu punya nama yang hampir sama dengan adiknya, Titi Utami. Tak heran bukan mengapa mungkin nama aku dan adikku jg mirip. Dia lahir di tahun 1956, di tanggal pertama bulan Mei. Yang artinya dia tergolong pria Taurus.
Seakan aku tahu semua tentangnya, aku merasa seperti diriku mirip dengannya. Mulai dari cara dia marah sampai egoisnya yang tak mau mengalah. Anehnya, aku merasa tak ada yang perlu diperdebatkan mengenai kesamaan genetik itu.
Perbedaan yang tampak amat jelas adalah saat minum susu. Aku sangat suka minum susu, sedangkan dia tidak. Perutnya yang selalu bermasalah dengan laktosa membuatku berpikir perutku mungkin terbiasa dengan susu sapi.
Abahku bisa melakukan pekerjaan wanita. Namun sering dia malas untuk melakukannya. Abahku kecil itu terbiasa menyapu dan mengepel lantai. Saat dia hidup bersamaku, abahku bisa mulai dari mencuci hingga memasak. Pekerjaan rumah tangga yang makin hari aku sadar mengapa abahku itu bisa melakukannya. Bisa karena biasa, ungkapan yang sangat tepat untuknya. Aku suka masakannya, meski penuh dengan racikan bumbu yang tak biasa.
Tahukah jika aku amat suka disuapi olehnya. Tangannya bagaikan seorang ibu bagiku. Bukan karena kehalusan atau tingkat kekasaran dari tangan tersebut. Tapi apa yang aku makan waktu kecil, hampir semua berasal dari tangannya. Hingga kini, hingga aku berusia lebih dari 25 tahun ini.

Suaranya sangat keras. Sepertinya mampu menggelegarkan untuk 3 kelas sekaligus apabila sedang mengajar di kelas. Begitupun sebenarnya jika dia sedang teramat marah. Suaranya bisa begitu menenangkan saat solat berjamaah bersamanya ataupun saat dia melantunkan ayat suci Al Qur'an. Lebih lagi suaranya mampu sangat lembut, saat menemaniku tidur di dekatnya.

Aku pernah menjadi muridnya di kelas. Selalu aku mendapat giliran menjawab soal karena aku bernomor absen 13. Dia suka sekali angka-angka unik, dipanggilnya kami yang bernomor absen unik-unik tersebut. Untungnya nilaiku saat itu tak hanya mutlak darinya. Aku dan teman sekelasku diajar pula oleh guru matematika lainnya. Ini adalah hal lainnya yang membuatku tak mirip lagi dengannya, alias gen kemampuan berhitung itu tak menurun kepadaku.Begitupun dengan hobinya membaca buku. Aku memang suka membaca, tapi kemampuan membaca cepatku tak secepat dirinya, mungkin juga karena aku tak bisa lama-lama membaca buku. Aku teramat berbeda dengannya, dia lebih suka membeli buku dibandingkan membeli baju.
Banyak yang harus aku ceritakan tentangnya, masih banyak hal yang tersimpan di memoriku ini. Mungkin nanti aku bercerita kembali, yang pasti, Aku sayang sekali Abahku =)

Rabu, 29 September 2010

Ibuku

Aku mulai membayangkan sesosok wanita berumur lebih dari 50 tahun. Ya itulah dia yang melahirkanku. Meski mungkin aku tak mengingat wajahnya saat aku lahir ke dunia. Bukti otentik, hanyalah foto-foto saat aku kecil bersamanya.

Namanya Retna Nuriawati, nama yang hampir sama dengan kedua saudara perempuannya. Ibuku punya seorang kakak bernama Retna Merawati, dan adik bernama Retna Mahriani. Itulah yang membuat aku tak heran mengapa aku pun diberi nama yang hampir sama dengan adikku, Dhyah Annur.

Berbicara soal nama, aku pun tak tahu apa arti nama Ibuku sebenarnya. Kakekku pernah cerita, tapi itu saat aku kecil, hingga akhirnya kini aku pun lupa. Maafkan.

Dalam benakku, mungkin Aki memberi nama Ibuku seperti itu karena teringat seekor burung nuri. Jenis burung itu yang aku tahu adalah seekor burung yang amat cerewet. Inilah yang menjadikan diriku terimajinasikan bahwa Ibuku memang demikian.

Cerewet, satu kata yang terlontarkan saat mengingat Ibuku itu. Beliau begitu detilnya berceramah pada kami tentang kehidupan. Mungkin banyak yang berpikir beliau terlalu galak dan banyak aturan. Tapi aku sebagai anaknya akhirnya terdoktrin juga, hidup memang butuh aturan agar bisa berjalan lurus di jalanNya. Sosok cerewet itu mulai aku kenal saat beranjak remaja hingga sekarang. Tapi tidak saat aku kecil dulu.

Dulu, banyak orang mengatakan bahwa Ibuku sangat cantik. Tentu saja aku percaya karena kemiripan Beliau dengan adikku Dhyah Annur. Kulitnya kuning seperti perempuan Sunda cantik pada umumnya. Beliau pernah berkata, saat seumuranku yang 25 tahun ini, ukuran berat badan beliau tidak pernah lebih dari 45 kilogram. Mungkin memang demikian, karena di saat sekarang beliau berumur 52 tahun masih di bawah wanita-wanita gendut lainnya, hanya kisaran 55 kilogram saja.

Ibuku berkata, kuncinya adalah olahraga. Terbukti, di umurnya yang sudah lebih dari setengah abad ini, bisa dihitung penyakit apa yang pernah dia derita, paling hanya flu biasa. Meski usahanya saat meregang nyawa melahirkan kami tentu saja adalah perjuangan melawan kematian. Lebih jauh lagi beliau mengatakan olahraga itu penting untuk kesegaran kulit dan nutrisi rambut. Di usianya kini, Ibuku hanya punya beberapa uban saja, lagi-lagi jika dibandingkan dengan perempuan lain di usianya, Ibuku memang terlihat lebih segar pada kulitnya, padahal teman-temannya itu sudah banyak yang melakukan perawatan kulit secara medis. Tapi Ibuku tidak, dia percaya, gerakan yoga-nya terutama gerakan jungkir- kepala di lantai kaki di atas itu mampu mengalirkan darah ke otak guna menjaga vitalitas rambut dan wajah.

Tahukah jika Ibuku memang penuh bakat? Mungkin sebenarnya bukan bakat, tapi minatnya yang banyak untuk mengasah diri. Inilah beberapa hal yang dia minati. Ibuku bisa main bola voli. Banyak fotonya saat masih muda dulu tergabung dalam klub voli sepertinya. Rambutnya yang tak pernah panjang mungkin dibuat agar dia leluasa bergerak. Ibuku bisa menjahit. Saat aku kecil dulu, hampir beberapa pakaianku adalah jahitan ibuku. Tapi jangan anda tanyakan berapa lama menjahitnya, bisa sebulan, satu catur wulan, atau bahkan satu tahun lamanya. Akibatnya, terkadang dikarenakan pola pakaian yang dipakai adalah yang setahun kemarin, akhirnya saat pakaian itu jadi, tubuh saya sudah membesar dan tak muat lagi memakainya. Ibuku juga bisa memotong rambut. Anda pasti tak menyangka, aku pun demikian, tapi jangan meminta model-model aneh pada Ibuku, karena dia belum lihai menata rambut seperti halnya pekerja salon. Beliau suka memotong rambutku hingga aku berada di SMP, untungnya dulu aku punya juga Bude yang memang buka salon, jadi jika Ibuku memotong agak tidak karuan, Budeku yang membetulkannya. Tapi kalau hanya meminta model rambut lurus, Ibuku cukup ahli.
Ibuku bisa memasak. Aku katakan demikian karena mungkin masakan yang biasa dia masak itu cukup sederhana. Tak perlu ribet dengan bumbu ini itu, kata beliau cukup ingat bawang merah dan bawang putih. Namun memang benar, dibandingkan dengan saudara-saudara perempuannya yang lain, Ibuku memang paling jago masak. Karena Ibuku tidak menggunakan jasa pembantu rumah tangga, jadi bisa karena biasa. Termasuk dalam urusan membuat kue, Ibuku ahlinya membuat kastengel. Tapi jangan juga dibandingkan dengan Farah Quinn atau Ibu yang suka ada di iklan terigu, mungkin masakan mereka jauh lebih enak.

Ternyata masih banyak hal tentang Ibuku itu, sekarang ini beliau sedang suka berbisnis. Hal ini mengingatkan aku bahwa aku belum bercerita mengenai karirnya hingga saat ini. Yang aku tahu, dulu saat aku masih bayi, Ibuku bekerja di sebuah perusahaan, saat ini produknya adalah obat pelangsing. Setelah aku beranjak anak-anak, beliau bekerja sebagai guru SMA di Banjaran, daerah kabupaten Bandung, yang akhirnya mengharuskan aku tinggal di sana, saat aku masih TK sampai aku kelas 1 SD. Kemudian beliau berhasil pindah ke SMA swasta di daerah cihampelas di kota Bandung, sehingga aku pun pindah sekolah dan adikku masuk TK di Bandung. Hingga akhirnya kini, Ibuku menjadi guru di SMA negeri peringkat lima besar di Bandung.
Sebagai guru kimia, beliau mempraktekkan ilmunya dalam keluarga. Kami jarang makan masakan beliau dengan memakai vetcin ataupun cuka. Kami selalu diberi vitamin dan susu sebagai suplemen bagi tubuh. Makan buah dan sayur, adalah suruhannya saat kami disuguhkan masakan hijau yang tidak kami gemari. Atau seperti makan pepaya yang dulu aku pun tak pernah mau memakannya. Hidupnya mungkin terbiasa steril, sehingga beliau alergi terhadap debu dan air kotor. Tangannya bisa pecah-pecah saat terkena sabun yang tidak cocok, atau kakinya bisa perih saat lupa tidak pakai sandal atau terkena air hujan di jalan.

Aku tak menyangka di usiaku yang 25 tahun ini masih bisa bersamanya. Alhamdulillah. Setengah umurnya sudah aku merepotkannya. Kesalahan yang mungkin menjadi kebenaran bagiku adalah saat tidak memilih hidup tidak tinggal bersamanya dalam satu rumah. Aku tetap seorang anak yang sangat sayang Ibuku.

Love u, Mommy!

Selasa, 28 September 2010

Lahir Ke Dunia

Namaku Dhyah Mutmainnah. Perkenalan sedikit yang selalu aku ucapkan saat bertemu dengan orang baru. Termasuk jika anda membaca blog ini. Blog ini berisi cerita hidupku dari awal aku hidup. Mungkin berkat media inilah aku bisa bercerita tentang 25 tahun aku hidup di dunia ini. Semoga kelak aku akan bisa membacanya kembali, tidak seperti buku-buku harianku yang mungkin akan usang dimakan waktu.

Sesuai bukti otentik yang aku punya, aku lahir di Bandung. Kota yang cukup besar dengan penduduk yang cukup banyak. Yang dulu masih sepi, hingga kini yang sudah padat hampir seperti kota metropolitan. Aku lahir pada hari Senin, hari yang sama dengan kelahiran Nabi Muhammad saw. Hari Legi tepatnya jika menurut kalendar Jawa. Aku rasa mungkin aku menyusahkan Ibuku saat melahirkan. Bayangkan saja, aku lahir pada pukul 05.25 pagi hari, yang artinya Ibu mungkin merasakan konstraksi di malam hari yang menyebabkannya tidak tidur semalaman. Aku pun lahir dengan selamat di salah satu rumah sakit besar daerah Pasteur. Hingga kini aku tak tahu aku lahir dengan panjang dan berat badan berapa. Mungkin aku akan menanyakannya nanti.

Aku diberi nama DHYAH MUTMAINNAH, mungkin ingin Abahku namaku sebenarnya Dyah Muthmainnah, yang artinya 'dyah' itu perempuan, dan 'muthmainnah' itu artinya jiwa yang tenang. Dari sinilah aku paham bahwa nama adalah sebuah doa. Perlu jiwa yang tenang untuk menjadi seorang perempuan. Perlu berjiwa tenang untuk bisa dipanggil ALLAH SWT masuk surga. Aamiiin.

Akte kelahiranku dibuat empat hari kemudian, tepatnya tanggal 16 Agustus 1985, itulah yang mungkin menjadi bukti bahwa pencarian namaku tidaklah serumit orang-orang kini mencari nama untuk anaknya. Aku tahu dari tulisan tersebut bahwa aku adalah anak yang sah dari hasil perkawinan, karena di sana bukan hanya ada nama Ibuku, tapi juga Abahku. Toto Utomo.

Abahku bernama Toto Utomo. Entahlah aku lupa nama beliau dalam akte kelahirannya. Tapi demikian aku selalu isi dalam setiap formulir yang diminta menyebutkan nama ayah. Sedangkan Ibuku bernama Retna Nuriawati, memang demikian nama beliau dalam akte kelahirannya. Mereka menikah pada tanggal cantik, tanggal 9 bulan 9, satu tahun sebelum kelahiranku.

Mungkin semua orang bertanya, mengapa aku menyebut mereka Abah dan Ibu?
Bukan Abah dan Ambu? atau Ayah dan Ibu?

Mereka bilang, bahwa aku sulit mengucapkan kata Ambu sebagai pembendaharaan kata-kata baruku di awal usia perkembangan. Tapi aku bertanya, berarti aku bodoh? Tidak,,,aku yang sekarang, menganggap kebodohanku sebagai kepintaranku. Aku itu unik, ingin berbeda dari yang telah ada. Kata Abah dan Ibu memang kurang matching dengan orang lain. Tapi itulah kami, keluarga yang berbeda dengan yang lainnya.

Kini, panggilan tersebut sudah biasa aku sebut. Terutama dalam setiap doaku setelah solat.
Ya ALLAH, bahagiakanlah Abah dan Ibuku, sebagaimana mereka membahagiakan aku sampai saat sekarang ini. Aamiiin