Selasa, 12 Oktober 2010

Abah

Aku panggil demikian seorang lelaki yang kini berusia lebih dari 50 tahun. Usianya sudah lebih dari setengah abad, dan setengahnya telah dihabiskan bersamaku, anak perempuannya yang pertama. Aku lahir ke dunia dengan didampinginya. Suaranyalah yang mengumandangkan adzan untuk pertama kalinya kepadaku. Aku mungkin tahu dia sejak aku lahir, atau aku salah? Dia yang tahu aku sejak aku lahir ke dunia ini.
Banyak yang berkata, wajahku mirip dengan dia. Awalnya aku enggan dikatakan demikian. Wajar bukan bahwasanya aku tak mau dikatakan seperti seorang laki-laki?

Ayo kita membahas tentangnya. Beliau bernama Toto Utomo. Aku pun heran mengapa di akte kelahirannya beliau bernama Mas Toto Utomo, tapi bagaimana proses namanya berubah di surat-surat berharga lainnya seperti ijasah-ijasah setelahnya yang kemudian hanya tertulis Toto Utomo.
Nama yang mungkin membuatku tak heran pula mengapa namaku bisa sama dengan adikku, Dhyah Annur. Ternyata abahku itu punya nama yang hampir sama dengan adiknya, Titi Utami. Tak heran bukan mengapa mungkin nama aku dan adikku jg mirip. Dia lahir di tahun 1956, di tanggal pertama bulan Mei. Yang artinya dia tergolong pria Taurus.
Seakan aku tahu semua tentangnya, aku merasa seperti diriku mirip dengannya. Mulai dari cara dia marah sampai egoisnya yang tak mau mengalah. Anehnya, aku merasa tak ada yang perlu diperdebatkan mengenai kesamaan genetik itu.
Perbedaan yang tampak amat jelas adalah saat minum susu. Aku sangat suka minum susu, sedangkan dia tidak. Perutnya yang selalu bermasalah dengan laktosa membuatku berpikir perutku mungkin terbiasa dengan susu sapi.
Abahku bisa melakukan pekerjaan wanita. Namun sering dia malas untuk melakukannya. Abahku kecil itu terbiasa menyapu dan mengepel lantai. Saat dia hidup bersamaku, abahku bisa mulai dari mencuci hingga memasak. Pekerjaan rumah tangga yang makin hari aku sadar mengapa abahku itu bisa melakukannya. Bisa karena biasa, ungkapan yang sangat tepat untuknya. Aku suka masakannya, meski penuh dengan racikan bumbu yang tak biasa.
Tahukah jika aku amat suka disuapi olehnya. Tangannya bagaikan seorang ibu bagiku. Bukan karena kehalusan atau tingkat kekasaran dari tangan tersebut. Tapi apa yang aku makan waktu kecil, hampir semua berasal dari tangannya. Hingga kini, hingga aku berusia lebih dari 25 tahun ini.

Suaranya sangat keras. Sepertinya mampu menggelegarkan untuk 3 kelas sekaligus apabila sedang mengajar di kelas. Begitupun sebenarnya jika dia sedang teramat marah. Suaranya bisa begitu menenangkan saat solat berjamaah bersamanya ataupun saat dia melantunkan ayat suci Al Qur'an. Lebih lagi suaranya mampu sangat lembut, saat menemaniku tidur di dekatnya.

Aku pernah menjadi muridnya di kelas. Selalu aku mendapat giliran menjawab soal karena aku bernomor absen 13. Dia suka sekali angka-angka unik, dipanggilnya kami yang bernomor absen unik-unik tersebut. Untungnya nilaiku saat itu tak hanya mutlak darinya. Aku dan teman sekelasku diajar pula oleh guru matematika lainnya. Ini adalah hal lainnya yang membuatku tak mirip lagi dengannya, alias gen kemampuan berhitung itu tak menurun kepadaku.Begitupun dengan hobinya membaca buku. Aku memang suka membaca, tapi kemampuan membaca cepatku tak secepat dirinya, mungkin juga karena aku tak bisa lama-lama membaca buku. Aku teramat berbeda dengannya, dia lebih suka membeli buku dibandingkan membeli baju.
Banyak yang harus aku ceritakan tentangnya, masih banyak hal yang tersimpan di memoriku ini. Mungkin nanti aku bercerita kembali, yang pasti, Aku sayang sekali Abahku =)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar